Penggunaan
obat pada wanita hamil memerlukan pertimbangan lebih khusus karena resiko tidak
hanya pada ibu saja, tetapi juga pada janin yang dikandungnya. Resiko yang
paling dikhawatirkan adalah timbulnya kecacatan pada janin atau bayi yang lahir
nantinya, baik berupa cacat fisik maupun cacat fungsional. Hal yang harus
dipertimbangkan adalah apakah manfaat dari penggunaan obat lebih besar daripada
resikonya, sehingga ibu dapat melahirkan bayi yang sehat dengan selamat.
Perkembangan
Embrio dan Janin
Periode
perkembangan janin manusia adalah 38 minggu, dan dibagi menjadi trimester
pertama, kedua dan ketiga yang masing-masing berlangsung selama tiga bulan.
Tahap perkembangan janin disebut pra embriotik, embriotik, dan janin. Tahap pra
embriotik adalah saat sel yang telah dibuahi membelah secara cepat dan ini
dapat berlangsung sampai 17 hari setelah konsepsi (postconception). Sistem organ utama terbentuk selama tahap
embriotik (18 sampai 56 hari), dengan pematangan, perkembangan, dan pertumbuhan
terus berlanjut selama tahap janin (8 sampai 38 minggu).
Tidak
ada obat yang secara mutlak dianggap aman untuk digunakan pada masa kehamilan.
Efek teratogenik tidak hanya dalam bentuk kecacatan fisik saja (malformasi),
tetapi juga pertumbuhan yang terganggu, karsinogenesis, gangguan fungsional
atau mutagenesis.
“Teratogen”
adalah bahan apapun yang diberikan kepada ibu, yang dapat menyebabkan atau
berpengaruh terhadap malformasi atau kelainan fungsi fisiologis ataupun
perkembangan jiwa janin atau pada anak setelah lahir. Masalah yang dapat timbul
dapat bersifat fisiologis, misalnya gagal ginjal atau penghambatan pertumbuhan
maupun bersifat anatomis, sepertibibir sumbing atau kelainan tulang belakang
(spina bifida).
Kecacatan
janin akibat obat diperkirakan sekitar 3% dari seluruh kelahiran cacat. Resiko
paling tinggi untuk menimbulkan efek teratogenik adalah penggunaan obat pada
trimester pertama, lebih tepatnya minggu ke-3 sampai dengan ke-8 dimana
sebagian besar organ utama dibentuk. Setelah minggu ke-8 jarang terjadi anomaly
struktur karena organ utama sudah terbentuk pada fase ini. Pada trimester kedua
dan ketiga, efek teratogenik lebih kepada kecacatan fungsional, contohnya
penggunaan obat ACE inhibitor pada trimester kedua dan ketiga akan menyebabkan
hipotensi pada janin.
Transfer
Obat melalui Sawar Uri
Obat
yang diberikan kepada wanita hamil umumnya dapat melalui plasenta. Transfer
obat melalui membran plasenta terjadi secara difusi pasif. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses transfer ini adalah : konsentrasi obat dalam darah ibu,
aliran darah plasenta, sifat fisikokimia obat (berat molekul rendah, obat yang larut
dalam lemak, non-polar, dan tidak terionisasi akan lebih melewati membran
plasenta), hanya obat yang berada dalam bentuk bebas dari ikatan protein yang
dapat melewati membran plasenta. Obat yang bersifat basa cenderung terperangkap
dalam sirkulasi darah janin, karena pH-nya sedikit lebih sedikit rendah
dibandingkan pada plasma ibu.
Perpindahan
obat melalui sawar uri ini dimanfaatkan untuk pengobatan beberapa gangguan pada
janin. Sebagai contoh adalah pemberian flekainid pada ibu untuk mengobati takikardia
janin
Beberapa
kelas obat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin (Rubin
P, 1998) :
Gol
ACE inhibitor : gagal ginjal pada janin dan neonatus
Obat
antitiroid : hipertiroidisme pada janin
Benzodiazepin
: ketergantungan obat pada janin
Beta
blocker : hambatan pertumbuhan jika digunakan selama masa kehamilan (terbukti
pada atenolol)
Barbiturat
: ketergantungan obat pada janin
AINS
: konstriksi pada ductus arteriosus
Tetrasiklin
: pewarnaan gigi, hambatan pertumbuhan tulang
Warfarin
: perdarahan pada otak janin.
Kategori Keamanan Obat
Penggolongan
tingkat keamanan penggunaan obat pada wanita hamil berdasarkan FDA Amerika
Serikat banyak dijadikan acuan dalam mempertimbangkan penggunaannya dalam
praktik, yaitu :
Kategori
A : Penelitian terkontrol menunjukkan tidak ada resiko. Penelitian terkontrol
dan memadai pada wanita hamil tidak menunjukkan adanya resiko pada janin.
Kategori
B : Tidak ada bukti resiko pada manusia. Penelitian pada hewan menunjukkan
adanya resiko tetapi penelitian pada manusia tidak, ATAU, penelitian pada hewan
menunjukkan tidak ada resiko tetapi penelitian pada manusia belum memadai.
Kategori
C : Resiko tidak dapat dikesampingkan. Penelitian pada manusia tidak memadai,
penelitian pada hewan menunjukkan resiko atau tidak memadai.
Kategori
D : Resiko pada janin terbukti positif, baik melalui penelitian atau
post-marketing study.
Kategori
X : Kontraindikasi pada kehamilan. Penelitian pada hewan atau manusia, atau
data post-marketing study menunjukkan adanya resiko pada janin yang secara
jelas lebih merugikan dibandingkan manfaatnya.
Golongan
Antibiotika Berdasarkan Keamanan dan Toksisitasnya Pada Ibu dan Janin
Golongan
Aminoglikosida :
Gentamisin
: Kategori C (ototoksik, nefrotoksik)
Amikasin,
Tobramisin : Kategori D (ototoksik, nefrotoksik)
Netilmisin,
Kanamisin : Kategori D (ototoksik, nefrotoksik)
Streptomisin
: Kategori D (kerusakan saraf cranial VIII)
Aztreonam
: Kategori B
Golongan
Penisilin, Sefalosporin : Kategori B
Kloramfenikol
: Kategori C (gray-baby syndrome, terutama pada bayi prematur, anemia,
aplastik)
Klindamisin
: Kategori B
Fluorokuinolon
: Kategori C (arthropathy pada sendi penyannga berat badan)
Makrolida
:
Eritromisin
basa/suksinat : Kategori B
Eritromisin
estolat : Kategori B (hepatotoksik reversible pada ibu)
Azitromisin
: Kategori B
Klaritromisin
: Kategori C
Metronidazol
: Kategori B(anomaly bawaan,hindari penggunaan pada trimester I)
Nitrofurantoin
: Kategori B
Sulfonamide
: Kategori B (kernicterus, anemia hemolitik pada bayi baru lahir)
Tetrasilkin
: Kategori D (mengganggu pertumbuhan tulang, mewarnai gigi menjadi kuning
kecoklatan, hypoplasia dan kerusakan pada email)
Trimetoprim
: Kategori C (menghambat metabolism asam folat)
Vankomisin
: Kategori C (ototoksik, nefrotoksik)
Golongan
Antihipertensi Berdasarkan Keamanan dan Toksisitasnya Pada Ibu dan Janin
Diuretik
:
Furosemid
: Kategori C (menurunkan perfusi plasenta)
Golongan
Thiazid : Kategori D (penggunaan pada trimester I meningkatkan resiko cacat
bawaan, penggunaan pada trimester akhir meningkatkan resiko hipoglikemia,
trombositopenia, hiponatremia, hipokalemia, dan kematian pada janin/bayi akibat
komplikasi pada ibu.
Metildopa
: Kategori B (merupakan obat pilihan)
Golongan
beta blocker kecuali atenolol : Kategori C pada trimester I dan Kategori D pada
trimester II/III (resiko teoritis penggunaan pada trimester akhir :
bradikardia, hipotensi dan hipoglikemia pada neonatus)
Atenolol
: Kategori D
Golongan
Calsium Channel Blocker : Kategori C (terapi lini kedua)
Golongan
ACE Inhibitor : Kategori C pada trimester I dan Kategori D pada trimester
II/III (oligohidramnion, renal tubular dysgenesis, neonatal anuria,
hyvocalvaria, pulmonary hypoplasia, persistent patent ductus arteriosus, IUGR,
IUFD)
Golongan
Angiotensin II-reseptor Antagonist (AIIRA) : Kategori C pada trimester I dan
Kategori D pada trimester II/III ( diduga memiliki toksisitas mirip dengan ACE
Inhibitor.
Prinsip
Penggunaan Obat pada Masa Kehamilan
- Sedapat mungkin hindari penggunaan obat terutama pada trimester pertama kehamilan. Upayakan terapi nonfarmakologik
- Obat hanya diberikan jika jelas diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat dan resikonya
- Hindari obat baru karena datanya masih terbatas
- Pilih obat dengan profil keamanannya yang sudah diketahui
- Utamakan monoterapi
- Gunakan dengan dosis efektif yang terendah, tetapi perlu juga diingat bahwa perubahan fisiologis ibu selama kehamilan akan mengubah farmakokinetika obat, sehingga pada beberapa obat mungkin perlu peningkatan dosis untuk mempertahankan kadar terapeutiknya.
- Gunakan obat dengan durasi sesingkat mungkin
- Hindari obat yang bersifat teratogen pada wanita usia produktif
- Jika obat yang digunakan diduga kuat dapat menyebabkan kecacatan, maka lakukan USG.
Penggunaan
Obat Herbal pada Masa Kehamilan
Penggunaan
obat herbal semakin meningkat pesat, di banyak negara di dunia. Di banyak
negara, obat herbal pengaturannya tidak seketat obat, sehingga pemantauan efek
sampingnyapun tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Tambahan pula tidak banyak
laporan efek sampingnya yang dipublikasikan, akibatnya sulit untuk mendapatkan
informasi mengenai efek samping obat herbal, khususnya pada penggunaan selama
kehamilan.
Kita
semua menganggap obat herbal adalah produk “alamiah” sehingga bebas dari resiko
efek samping, namun kenyataannya penggunaan obat herbal pada masa kehamilan
tidak sepenuhnya bebas dari resiko baik terhadap ibu maupun janin. Meskipun
hubungan sebab-akibat dari laporan kasus yang dipublikasikan masih belum dapat
dipastikan, sebaliknya kita waspada dan menganggap bahwa penggunaan obat herbal
dikontaindikasikan selama kehamilan.
Sumber :
- Aslam, M.,Tan, C.K., Prayitno, A. (2003). Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy),. Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien
- ISO INDONESIA Volume 46-2011 s/d 2012
it's good information......
BalasHapus