Selasa, 07 Februari 2012

Penggunaan Obat Pada Masa Kehamilan

Penggunaan obat pada wanita hamil memerlukan pertimbangan lebih khusus karena resiko tidak hanya pada ibu saja, tetapi juga pada janin yang dikandungnya. Resiko yang paling dikhawatirkan adalah timbulnya kecacatan pada janin atau bayi yang lahir nantinya, baik berupa cacat fisik maupun cacat fungsional. Hal yang harus dipertimbangkan adalah apakah manfaat dari penggunaan obat lebih besar daripada resikonya, sehingga ibu dapat melahirkan bayi yang sehat dengan selamat.

Perkembangan Embrio dan Janin

Periode perkembangan janin manusia adalah 38 minggu, dan dibagi menjadi trimester pertama, kedua dan ketiga yang masing-masing berlangsung selama tiga bulan. Tahap perkembangan janin disebut pra embriotik, embriotik, dan janin. Tahap pra embriotik adalah saat sel yang telah dibuahi membelah secara cepat dan ini dapat berlangsung sampai 17 hari setelah konsepsi (postconception). Sistem organ utama terbentuk selama tahap embriotik (18 sampai 56 hari), dengan pematangan, perkembangan, dan pertumbuhan terus berlanjut selama tahap janin (8 sampai 38 minggu).

Tidak ada obat yang secara mutlak dianggap aman untuk digunakan pada masa kehamilan. Efek teratogenik tidak hanya dalam bentuk kecacatan fisik saja (malformasi), tetapi juga pertumbuhan yang terganggu, karsinogenesis, gangguan fungsional atau mutagenesis.

Teratogen” adalah bahan apapun yang diberikan kepada ibu, yang dapat menyebabkan atau berpengaruh terhadap malformasi atau kelainan fungsi fisiologis ataupun perkembangan jiwa janin atau pada anak setelah lahir. Masalah yang dapat timbul dapat bersifat fisiologis, misalnya gagal ginjal atau penghambatan pertumbuhan maupun bersifat anatomis, sepertibibir sumbing atau kelainan tulang belakang (spina bifida).  

Kecacatan janin akibat obat diperkirakan sekitar 3% dari seluruh kelahiran cacat. Resiko paling tinggi untuk menimbulkan efek teratogenik adalah penggunaan obat pada trimester pertama, lebih tepatnya minggu ke-3 sampai dengan ke-8 dimana sebagian besar organ utama dibentuk. Setelah minggu ke-8 jarang terjadi anomaly struktur karena organ utama sudah terbentuk pada fase ini. Pada trimester kedua dan ketiga, efek teratogenik lebih kepada kecacatan fungsional, contohnya penggunaan obat ACE inhibitor pada trimester kedua dan ketiga akan menyebabkan hipotensi pada janin.

Transfer Obat melalui Sawar Uri

Obat yang diberikan kepada wanita hamil umumnya dapat melalui plasenta. Transfer obat melalui membran plasenta terjadi secara difusi pasif. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses transfer ini adalah : konsentrasi obat dalam darah ibu, aliran darah plasenta, sifat fisikokimia obat (berat molekul rendah, obat yang larut dalam lemak, non-polar, dan tidak terionisasi akan lebih melewati membran plasenta), hanya obat yang berada dalam bentuk bebas dari ikatan protein yang dapat melewati membran plasenta. Obat yang bersifat basa cenderung terperangkap dalam sirkulasi darah janin, karena pH-nya sedikit lebih sedikit rendah dibandingkan pada plasma ibu. 

Perpindahan obat melalui sawar uri ini dimanfaatkan untuk pengobatan beberapa gangguan pada janin. Sebagai contoh adalah pemberian flekainid pada ibu untuk mengobati takikardia janin

Beberapa kelas obat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin (Rubin P, 1998) :

Gol ACE inhibitor : gagal ginjal pada janin dan neonatus
Obat antitiroid : hipertiroidisme pada janin
Benzodiazepin : ketergantungan obat pada janin
Beta blocker : hambatan pertumbuhan jika digunakan selama masa kehamilan (terbukti pada atenolol)
Barbiturat : ketergantungan obat pada janin
AINS : konstriksi pada ductus arteriosus
Tetrasiklin : pewarnaan gigi, hambatan pertumbuhan tulang
Warfarin : perdarahan pada otak janin.

Kategori Keamanan Obat

Penggolongan tingkat keamanan penggunaan obat pada wanita hamil berdasarkan FDA Amerika Serikat banyak dijadikan acuan dalam mempertimbangkan penggunaannya dalam praktik, yaitu :

Kategori A : Penelitian terkontrol menunjukkan tidak ada resiko. Penelitian terkontrol dan memadai pada wanita hamil tidak menunjukkan adanya resiko pada janin.

Kategori B : Tidak ada bukti resiko pada manusia. Penelitian pada hewan menunjukkan adanya resiko tetapi penelitian pada manusia tidak, ATAU, penelitian pada hewan menunjukkan tidak ada resiko tetapi penelitian pada manusia belum memadai.

Kategori C : Resiko tidak dapat dikesampingkan. Penelitian pada manusia tidak memadai, penelitian pada hewan menunjukkan resiko atau tidak memadai.

Kategori D : Resiko pada janin terbukti positif, baik melalui penelitian atau post-marketing study.

Kategori X : Kontraindikasi pada kehamilan. Penelitian pada hewan atau manusia, atau data post-marketing study menunjukkan adanya resiko pada janin yang secara jelas lebih merugikan dibandingkan manfaatnya.

Golongan Antibiotika Berdasarkan Keamanan dan Toksisitasnya Pada Ibu dan Janin

Golongan Aminoglikosida :
Gentamisin : Kategori C (ototoksik, nefrotoksik)
Amikasin, Tobramisin : Kategori D (ototoksik, nefrotoksik)
Netilmisin, Kanamisin : Kategori D (ototoksik, nefrotoksik)
Streptomisin : Kategori D (kerusakan saraf cranial VIII)
Aztreonam : Kategori B
Golongan Penisilin, Sefalosporin : Kategori B
Kloramfenikol : Kategori C (gray-baby syndrome, terutama pada bayi prematur, anemia, aplastik)
Klindamisin : Kategori B
Fluorokuinolon : Kategori C (arthropathy pada sendi penyannga berat badan)

Makrolida :
Eritromisin basa/suksinat : Kategori B
Eritromisin estolat : Kategori B (hepatotoksik reversible pada ibu)
Azitromisin : Kategori B
Klaritromisin : Kategori C
Metronidazol : Kategori B(anomaly bawaan,hindari penggunaan pada trimester I)
Nitrofurantoin : Kategori B
Sulfonamide : Kategori B (kernicterus, anemia hemolitik pada bayi baru lahir)
Tetrasilkin : Kategori D (mengganggu pertumbuhan tulang, mewarnai gigi menjadi kuning kecoklatan, hypoplasia dan kerusakan pada email)
Trimetoprim : Kategori C (menghambat metabolism asam folat)
Vankomisin : Kategori C (ototoksik, nefrotoksik)

Golongan Antihipertensi Berdasarkan Keamanan dan Toksisitasnya Pada Ibu dan Janin

Diuretik :
Furosemid : Kategori C (menurunkan perfusi plasenta)
Golongan Thiazid : Kategori D (penggunaan pada trimester I meningkatkan resiko cacat bawaan, penggunaan pada trimester akhir meningkatkan resiko hipoglikemia, trombositopenia, hiponatremia, hipokalemia, dan kematian pada janin/bayi akibat komplikasi pada ibu.
Metildopa : Kategori B (merupakan obat pilihan)
Golongan beta blocker kecuali atenolol : Kategori C pada trimester I dan Kategori D pada trimester II/III (resiko teoritis penggunaan pada trimester akhir : bradikardia, hipotensi dan hipoglikemia pada neonatus)
Atenolol : Kategori D
Golongan Calsium Channel Blocker : Kategori C (terapi lini kedua)
Golongan ACE Inhibitor : Kategori C pada trimester I dan Kategori D pada trimester II/III (oligohidramnion, renal tubular dysgenesis, neonatal anuria, hyvocalvaria, pulmonary hypoplasia, persistent patent ductus arteriosus, IUGR, IUFD)
Golongan Angiotensin II-reseptor Antagonist (AIIRA) : Kategori C pada trimester I dan Kategori D pada trimester II/III ( diduga memiliki toksisitas mirip dengan ACE Inhibitor.

Prinsip Penggunaan Obat pada Masa Kehamilan

  • Sedapat mungkin hindari penggunaan obat terutama pada trimester pertama kehamilan. Upayakan terapi nonfarmakologik 
  • Obat hanya diberikan jika jelas diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat dan resikonya 
  • Hindari obat baru karena datanya masih terbatas 
  • Pilih obat dengan profil keamanannya yang sudah diketahui 
  • Utamakan monoterapi 
  • Gunakan dengan dosis efektif yang terendah, tetapi perlu juga diingat bahwa perubahan fisiologis ibu selama kehamilan akan mengubah farmakokinetika obat, sehingga pada beberapa obat mungkin perlu peningkatan dosis untuk mempertahankan kadar terapeutiknya. 
  • Gunakan obat dengan durasi sesingkat mungkin 
  • Hindari obat yang bersifat teratogen pada wanita usia produktif 
  • Jika obat yang digunakan diduga kuat dapat menyebabkan kecacatan, maka lakukan USG.

Penggunaan Obat Herbal pada Masa Kehamilan

Penggunaan obat herbal semakin meningkat pesat, di banyak negara di dunia. Di banyak negara, obat herbal pengaturannya tidak seketat obat, sehingga pemantauan efek sampingnyapun tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Tambahan pula tidak banyak laporan efek sampingnya yang dipublikasikan, akibatnya sulit untuk mendapatkan informasi mengenai efek samping obat herbal, khususnya pada penggunaan selama kehamilan.

Kita semua menganggap obat herbal adalah produk “alamiah” sehingga bebas dari resiko efek samping, namun kenyataannya penggunaan obat herbal pada masa kehamilan tidak sepenuhnya bebas dari resiko baik terhadap ibu maupun janin. Meskipun hubungan sebab-akibat dari laporan kasus yang dipublikasikan masih belum dapat dipastikan, sebaliknya kita waspada dan menganggap bahwa penggunaan obat herbal dikontaindikasikan selama kehamilan.



Sumber :
  • Aslam, M.,Tan, C.K., Prayitno, A. (2003). Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy),. Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien 
  • ISO INDONESIA Volume 46-2011 s/d 2012

1 komentar:

Dunia Kecil crybabyzz, A Little Wordl with Great Dreams...Hope you'll enjoy it... Gamsa hamida.....!!!! Annyeong.....!!!!